Jumat, 28 Januari 2011

Free Software 2



Software SMS-it 3.2.4

Lewat program ini, Anda bisa mengirim SMS melalui komputer. Tersedia layanan pesan bergambar, logo, ringtone dan flash SMS. Pesan bisa terkirim melalui modem, koneksi internet, atau handphone. Inbox HP Anda bisa didownload ke komputer. Download

==========================================================================

Software Active@ Undelete Data Recovery 5.5

Data Recovery Software memperbolehkan Anda memperbaiki data yang hilang, terhapus dan data yang terformat yang berada pada komputer lokal dan jaringan LAN sama halnya dengan removeable drive serta media penyimpanan digital, compact flash atau Sony memory stick. Paket instalasi Active@ UNDELETE Professional & Enterprise terdapat di dalamnya berupa CD/DVD ISO image yang dapat di-burn untuk mendapatkan sebuah boot-able CD or DVD dengan sebuah versi berat-ringan Windows Vista yang dapat berjalan pada RAM (WinPE 2.0), ini merupakan cara untuk me-recover data Anda apabila pada sistem Anda tidak dapat mem-booting dan Anda tidak dapat menjalankan hardisk Anda pada komputer lain.
Setelah Anda mem-booting komputer dari CD/DVD, Anda akan menyaksikan Windows beradaptasi dengan jaringan sehingga Anda akan langsung me-recover data (meng-copy files ke USB atau Network drive)

Spesifikasi : Windows 98/ME/2000/XP/Vista
File size : 2.01 MB


Kamis, 27 Januari 2011

Tips & Trik

10 Tips Merawat Barang Elektronik

Barang elektronik dapat dijumpai dimana-mana. Kemana pun kita pergi selalu saja ada orang yang menggunakan handphone, notebook, MP3 player, dan lain-lain. Bahkan bisa saja, seseorang memiliki barang elektronik lebih dari satu.

Fungsi barang elektronik sangat beragam, bahkan mungkin masih dapat berkembang. Misalnya, aplikasi telepon berkembang menjadi aplikasi pengiriman data teks dan gambar. Ditambah lagi dengan terintegrasinya jaringan internet dengan barang-barang elektronik.

Melihat perkembangan barang elektronik saat ini maka kita harus pAndai-pAndai merawat dan menjaga barang elektronik. Di rubrik kali ini, akan diberikan beberapa saran untuk merawat barang elektronik Anda.

1. Berikan pembungkus atau wadah sehingga tidak terkena debu. Selain itu juga menghindarkan dari benturan langsung. Wadah tersebut juga harus memiliki lubang agar panas dari barang elektronik dapat keluar.
2. Gunakan lap dari bahan yang halus seperti lap kacamata untuk mengelap baik layar atau pun bagian lain.
3. Gunakan cairan pembersih khusus/lens cleaner untuk membersihkan noda yang menempel pada layar.
4. Berikan waktu yang cukup bagi barang elektronik untuk menghilangkan panasnya setelah dipakai dalam waktu yang cukup lama.
5. Simpan barang elektronik di tempat yang cukup dingin namun tidak lembab karena kelembaban dapat mempercepat kerusakan barang elektronik.
6. Hindarkan dari kontak matahari secara langsung dan ruangan-ruangan panas. Panas yang berlebihan dapat merusak komponen-komponen yang ada. Contoh ruangan panas adalah ruangan mobil yang diparkir di bawah sinar matahari.
7. Jika tidak mengerti bagaimana memperbaiki barang elektronik, bawalah ke tempat servis yang benar-benar bisa dipercaya, atau pusat servis produk.
8. Simpan kartu garansi barang elektronik Anda. Umumnya, Anda memperoleh kesempatan servis gratis atau pemeliharaan produk. Ini cara hemat untuk tetap bisa memakai barang elektronik Anda.
9. Hindari memindahkan barang elektronik berukuran sedang atau besar dalam kondisi menyala. Sebaiknya, masukkan ke dalam mode standby atau hibernate (jika ada).
10. Jauhkan barang elektronik dari makanan dan minuman. Siapa yang tahu kapan makanan atau minuman dapat mengotori bahkan merusak barang elektronik Anda.

Dengan perawatan yang maksimal tentu kinerja barang elektronik kita juga akan optimal sehingga akan makin mempermudah aktivitas kita dengan fungsi-fungsinya yang beragam. [chip]
NEXT ....

Rabu, 26 Januari 2011

Driver For PC

HP Compaq dx2200 Microtower PC
HP Compaq dx2200 Microtower PC download drivernya : audionya disini dan rieltexnya disini, untuk chipset disini

 NEXT ....

Rabu, 19 Januari 2011

Sejarah silam Bumoe Aceh 5

 Perempuan Aceh


Kepahlawanan perempuan Aceh tetap menjadi sisi menarik untuk ditulis. Dizaman kolonial Belanda menguasai nusantara, H C Snouck Hurgronje malah membuat penelitian khusus tentang kehidupan rumah tangga di Aceh. Van Daalen juga melakukan hal yang sama.

Langkah itu kemudian juga diikuti H C Zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang beralih menjadi wartawan perang dengan. Jabatan terakhirnya redaktur di harian Java Bode terbitan Batavia.

Dalam buku “Atjeh” Zentgraaff menyebutkan kematian Tgk Di Barat, salah seorang panglima perang Aceh. Indahnya kematian itu karena perempuan. Kisahnya, sejak tahun 1903, Tgk Di Barat, ulama Aceh Barat muncul secara menonjol dalam perang menentang Belanda.

Belanda memburunya hidup atau mati. Sembilan tahun kemudian, 22 Februari 1912, pasukan marsose pimpinan Letnan Behrens berhasil mengepung dan memberondong pasukan Tgk Di Barat. Pertempuran sengit terjadi.
Lengan kanan Teungku Di Barat tertembus peluru. Dengan serta merta karaben yang tak lagi mungkin dipegangnya, diserahkan kepada istrinya, sementara tangan kirinya mencabut rencong.

Setelah menerima karaben itu, istrinya berdiri di depan untuk melindungi Teungku Di Barat yang luka akibat tembakan. “Demikia, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu, kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebahlah dengan seketika. Akhir hayat yang berarti bagi keduanya syahid, yang telah memberikan rasa kebahagiaan, yang tak dapat diduga oleh siapapun betapa besar artinya. Ada beratus-ratus wanita Aceh seperti ini, bahkan boleh jadi ribuan jumlahnya. Dan mereka telah membangkitkan rasa hormat, pun juga pada militer kita,” tulis Zentgraaff.

Ia kemudian melanjutkan. “Beginilah berakhirnya hidup Teungku di Barat dan ulama terkemuka lainnya di Aceh yang lebih suka memilih syahid dari pada mèl (menyerah-red) kepada Belanda,” tulis Zentgraaff.

Di bagian lain bukunya Zentgraaff menulis “Comes ils tombent bien…en is er één volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren nien met diepe vereering zou schrijven in het boek zijner historie?--Dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tinggi di dalam buku sejarahnya?” tanya Zentgraaff

Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah orang-orang mengadakan penelitian secara sistimatis mengenai wanita Aceh.

Dalam catatan Van Daalen, menurut Zentgraaff, wanita Aceh juga sering menjadi mata-mata handal untuk para pejuang Aceh. Belanda sendiri sering terjebak. Apalagi ketika beberapa petinggi Belanda dan opsirnya, memakai wanita Aceh untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat Aceh, agar mudah menaklukkan dan melakukan diplomasi dengan para pejuang Aceh.

Ada pula beberapa wanita Aceh yang rela menjadi concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. “Namun demikian, dalam hubungan bermuka dua seperti itu, wanita Aceh tidaklah luntur sifatnya. Mereka tetap menjalin hubungan-hubungan rahasia yang berakhir dengan pertumpahan darah,” tulis Zentgraaff.

Zentgraaff, mengutip sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada salah seorang Kapten Belanda. Kapten tersebut telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberpa pejuang Aceh sedang duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia mengenal betul orang-orang dibelakang rumahnya itu sebagai pemberontak yang sudah berbulan-bulan dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.

Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten tersebut. Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa pangkatnya akan diturunkan.

Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu menikmati makanan di rumahnya. “Karena itulah ia terpaksa bersikap bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam hutan belantara,” ulas Zentgraaff.

Belanda juga mengangkat tabik, kagum terhadap kepahlawanan perempuan Aceh tersebut dalam buku “Gedenboek van het korp Marechausse van Aceh en Onderhoorighheden.” Dalam salah satu bagian buku itu Belanda menulis. ’’De heldhaftigheid van den Atjeher, welke hij gedurende den Atjehoorlog aan den om legde bij den strijd om zijn land te verdedigen, heeft de eebied van de Merechausse’s afgedwongen en tevens hun bewondering voor zijn moed, doodsverachting, zelfopoffering en uithoudingsvermogen---Kepahlawanan orang Aceh yang diperlihatkannya masa perang Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan tanah airnya, telah menimbulkan rasa hormat dan kagum terhadap keberaniannya, sikap tak gentar menghadapi maut, pengorbanan diri dan daya tahannya

Sejarah silam Bumoe Aceh 4

Cut Nyak Dhien dan Kartini


Jepara, Jawa Tengah 129 tahun lalu, 21 April 1879. Rumah Bupati Raden Mas Adipati Sastrodininggrat melengking tangisan. R A Kartini dilahirkan. Ia kelak disanjung karena dianggap sebagai pembawa emansipasi wanita.

Lampadang, Aceh Besar 160 tahun lalu (1848), Cut Nyak Dhien dilahirkan. Ia ditakdirkan untuk membawa pesan ketangguhan perempuan di medan perang. Bila Kartini dengan tangan gemulai merangkai kata untuk perubahan, Cut Nyak Dhien lebih memilih pedang untuk mempertahankan jati diri ke-Aceh-annya.

Gemuainya Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” membuat hari kelahirannya diperingati sampai sekarang. Tangkasnya Dhien mengayun pedang, menebas Belanda hanya terabadikan dalam sebuah film. Selebihnya hanya pajangan disekolah-sekolah, sebagai petanda kabar bahwa tokoh yang sampai tuanya tak pernah kompromi dengan penjajah Belanda itu masih dianggap sebagai pahlawan.

Tamat sekolah Europese Lagere School (ELS) setingkat sekolah dasar sekarang, Kartini duduk manis dengan kebangsawanannya menunggu pingitan. Sementara Dhien, yang dididik dibalai pengajian, lebih memilih jadi janda tinimbang tunduk pada Belanda.

Tahun 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoninggrat. Disana Kartini mendirikan Sekolah Kepandaian Putri. Beragam kegiatan pemberdayaan perempuan dilakukan.

29 Juni 1878, Dhien menyandang status janda, setelah Tgk Ibrahim Lamnga, suaminya tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum. Dhien maju ke garda depan, menyemangati pasukan megorbankan perlawanan.

Di Rembang, Kartini masih berkutat di bawah teduh mengajari kaum perempuan untuk tak terjebak pada segi tiga lingkaran, sumur, dapur, dan kasur. Di Lamnga, Dhien menarik perempuan dari pelukan suaminya ke medan perang.

Pada usia 25 tahun, 17 September 1904, Kartini meninggal di ranjangnya, setelah berjuang melahirkan putra pertama. Di belantara Aceh, Dhien berjuang dengan penyakit encok dan rabun, setelah suami keduanya, Teuku Umar tewas ditembak Belanda dalam sebuah pertempuran di Meulaboh Aceh Barat.

Belanda menangkapnya setelah pengkhianatan Pang Laot yang tak tega melihat wanita kekar itu renta dengan penyakitnya. 6 November 1908, Dhien tewas di Sumedang, Jawa Barat dan dimakamkan di Gunung Puyuh setelah Belanda membuangnya ke sana.

Di rimba Aceh, gaung semangatnya masih menggema. Dhien pernah berkoar, setelah Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda. Ia berteriak di hadapan rakyatnya, “Lihatlah wahai orang Aceh. Tempat ibadah kita dirusak. Mereka telah mencoreng nama Allah. Sampai kapan kita akan begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda.”

Keprihatinan Kartini pada dunia pendidikan dan emansipasi wanita, membuatnya dikenang sebagai tokoh sampai sekarang, dalam berbagai ulasan lembar-lembar buku sejarah.

Perjuangan Dhien dan Kartini pun sama-sama difilmkan. Namun, Tjoet Nja’ Dhien yang disutradarai Eros Djarot (1988) lebih mendapat tempat dengan memenangi piala Cita sebagai film terbaik, serta film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (1989).

Hanya dalam film Dhien lebih dihargai ketimbang Kartini. Selebihnya nama Dhien hanya tertabal pada sebuah kapal perang TNI AL, mata uang rupiah senilai Rp10 ribu keluaran tahun 1998. Dhien dan Kartini dua sosok yang patut ditimbang-timbang kadar kepahlawanannya. ( the and )


Next ...

Sejarah silam Bumoe Aceh 2

Menguak Rencana Pembunuhan 300 Tokoh Aceh


Les hitam terhadap 300 tokoh Aceh, yang berencana dibunuh, serta sikap Soekarno yang ingkar janji menjadi alasan Tgk Muhammad Daoed Beureuh untuk memberontak terhadap Jakarta.

Menulis soal pemberontakan di Aceh, tak lekang dari pemberontakan DI/TII. Aceh yang awalnya begitu setia terhadap Republik Indonesia, tiba-tiba menjadi begitu berang, ketika Tgk Muhammad Daud Beureueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, merasa dikhianati oleh Presiden Soekarno. Janji yang tak ditepati menjadi alasan utama Daud Beureueh memberontak.

Sejarawan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan. Kekecewaan Daud Beureueh semakin memuncak, ketika sebuah dokumen rahasia dari Jakarta yang disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tingi Sunarjo yang membawa dokumen itu ke Medan. Ada pula yang menyebutkan dokumen rahasia itu “warisan” dari kabinet Sukiman.

Isinya, Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh—ada juga yang menyebut 190 tokoh—melalui sebuah operasi rahasia. Yang disebut sebagai les hitam. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan bahwa Aceh akan menggelar sebuah pemberontakan. Tapi sampai kini tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen tersebut.

Sejarawan Belanda lainnya, B.J.Boland, dalam bukunya “The Struggle of Islam in Modern Indonesia”, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas-desus itu di embuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” katanya. Secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” kata Van Dijk. Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu.

Rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. “Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” kata Nur el-ibrahimy, menantu Beureueh sekaligus saksi sejarah Aceh.

Setelah itu, sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah perlawanan Aceh pasca-era kolonial dan memunculkan Daud Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah.

“Les hitam” bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada. Membela Republik di masa perjuangan kemerdekaan, Daud Beureueh merasa dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari 1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.

Van Dijk bercerita. Dua hari setelah keputusan itu diambil, pemerintah Jakarta melantik Abdul Hakim menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibu kota pemerintahan. Beureueh, yang saat itu adalah gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, bahkan tak tahu perihal pengangkatan gubernur baru tersebut. “Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureueh,” tulis Van Dijk.

Selain itu, Aceh juga sudah lama merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus, yang memungkinkan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam tak kunjung dipenuhi Soekarno.

Dalam usahanya memberontak terhadap Jakarta, Daod Beureuh menjalin hubungan Kartosoewirjo, pemimpin DI/TII di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu “membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah ini.

Menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Karto di Bandung pada 13 Maret 1953. Utusan Karto, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953.

Kemarahan Beureueh ini mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—lembaga yang dipimpin oleh Beureueh—di Langsa, April 1953, menggumpallah itikad melawan Jakarta. Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh”. Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu.

Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Beureueh pada September 1953. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.

Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Sukarnolah yang mendatangi Aceh untuk mendinginkin suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Sukarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.

Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Sukarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme.

Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apaapa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.

Dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, Muhammad Daud adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid— orang tua Farhan Hamid, anggota DPR asal Partai Amanat Nasional. Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli.

Daud adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya
pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daud Beureueh bisa “menyihir” orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid. Tak hanya memukau, Daud tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka.

Karena karismanya itu, Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRl). Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler.

Tapi Daud Beureuh bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA—lembaga yang didirikannya pada 1939 ter utama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda. Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa Perang Cumbok.

Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.

Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku Daud Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk.

Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah M Nur El-Ibrahimy. Menurutnya, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dan Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.

Pemberontakan Daud Beureueh berlarut-larut sebagian pimpinan DI,TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang. Dalam surat menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama, Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak.

Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tidak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Baud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy. Tapi tutup usia di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)—masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali berduka.( the and )

Next ...

Sejarah Silam Bumoe Aceh

Belanda Menyerang Istana Sultan Aceh

Setelah dua kali melakukan agresi, Belanda dapat menguasai kediaman Sultan Aceh (Dalam). Karena wabah kolera Sultan Alaiddin Mahmudsyah mangkat. Dalam kecamuk perang kuburannya di Pagar Aye dibongkar dan dipindah ke Samahani.

Setelah menyatakan maklumat perang kepada kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, Belanda pun mengirim pasukannya ke Aceh untuk melakukan agresi. Mereka tiba di perairan Aceh pada 5 April 1873 dengan kekuatan 6 kapal uap, 2 kapal angkatan perang laut, 5 kapal barkas, 8 kapal peronda, 6 kapal pengangkut, dan 5 kapal layar.

Sehari kemudian (6 April 1873) pasukan Belanda mendarat di Pante Ceureumen (sebelah timur Ulee Lheue) untuk melakukan pengintaian. Pendaratan tersebut gagal, karena mendapat perlawanan dari rakyat Aceh. Namun pada 8 April 1873 pasukan Belanda mendarat kembali di Pantai Ceuremen, dengan jumlah mencapai 3.198 prajurit bawahan, 168 perwira, di bawah pimpinan Mayor Jenderal JHR. Kohler. Perang sengit pun berlangsung.

Setelah beberapa hari peperangan berlangsung, pasukan Belanda dapat menguasai Mesjid Raya Baiturrahman yang dijadikan benteng pertahanan oleh rakyat Aceh. Namun pejuang Aceh dapat merebut kembali mesjid tersebut setelah melakukan serangan yang mampu memukul mundur Belanda. Salah satu pemimpin pasukan Aceh waktu itu adalah Teuku Imuem Lueng Bata.

Belanda kemudian membuat markas di areal persawahan antara Lampaseh dan Punge. Disana mereka menyusun siasat untuk menyerang Dalam (Kediaman Sultan Alaiddin Mahmud Syah). Pada 12 April 1873, pihak Belanda yang telah bermarkas di persawahan antara Lampaseh dan Punge, dengan usaha yang berat berhasil masuk ke tempat yang disangka bagian dari areal Dalam. Rupanya, tempat tersebut tidak lain adalah Kuta Gunongan dekat areal Dalam.

Usaha Belanda sia-sia karena mereka menjadi sasaran empuk pejuang Aceh. Belanda kemudian merencanakan kembali perebutan Masjid Raya Baiturrahman dengan pertimbangan sesudah masjid dikuasai mereka, terdapat kemungkinan merebut Dalam.

Pada pukul 04.00, 14 April 1873, pihak Belanda berusaha merebut Masjid Raya Baiturrahman. Akhirnya, pihak Belanda berhasil menduduki kembali masjid itu sekitar pukul 07.00 dan pihak Aceh mundur. Dalam suasana mengundurkan diri, pihak Aceh mencari tempat persembunyian untuk mencari kesempatan menyerang secara tiba-tiba terhadap pasukan Belanda.

Pemimpin ekspedisi militer Belanda, JHR. Kohler setelah mendapat laporan tentang pendudukan kembali masjid oleh Belanda, berangkat dari markasnya di bivak sawah (persawahan antara Lampaseh dan Punge) menuju ke masjid untuk melakukan inspeksi pasukan. Pukul 09.00, Kohler memasuki areal masjid.

Hal itu diketahui oleh pejuang Aceh, mereka memperhatikan dengan cermat. Salah seorang dari mereka menembak Kohler. Peluru pihak Aceh mengenai lengan kiri bagian atas Kohler dan menembusi tubuhnya yang menyebabkan ia tewas.

Setelah itu, pejuang Aceh memukul mundur pasukan Belanda dan Dalam tidak dapat dikuasai Belanda. Mereka mengalami kekalahan besar: 45 tentara tewas (8 opsir) dan 405 luka-luka (23 opsir). Belanda mengundurkan pasukannya ke Pante Ceureumen. Pada 23 April 1873 mereka mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk meninggalkan Aceh. Pada 29 April 1873, armada Belanda mengangkat jangkar meninggalkan perairan Aceh dan agresi pertama gagal.

Dalam rangka menghadapi serangan kembali pihak Belanda yang telah mulai melakukan blokade di perairan Aceh dengan menggunakan angkatan lautnya untuk menghalangi pihak Aceh berhubungan dengan luar negeri, Kerajaan Aceh membentuk Dewan Delapan di Penang yang terdiri atas Teuku Paya, Teuku Ibrahim, Nyak Abu, Panglima Prang Haji Yusuf, Shaikh Ahmad, Shaikh Kassim, dan Umar. Dewan tersebut bertugas mewakili kepentingan Kerajaan Aceh di luar negeri seperti pengadaan perbekalan perang.

Pada November 1873, Belanda kembali mengirim pasukan tempurnya untuk mengadakan agresi kedua di Aceh. Dengan kekuatan dua kali lebih besar dari sebelumnya, terdiri atas 18 kapal perang, 7 kapal uap angkatan laut, 12 barkas, 22 kapal pengangkut lengkap dengan alat pendaratan; terdiri atas 6 barkas uap, 2 rakit besi, 2 rakit kayu, 80 sekoci, dan sejumlah tongkang pendarat.

Untuk agresi kedua ini dipimpin oleh Letnan Jenderal J. Van Swieten, seorang pensiunan panglima tentara Hindia Belanda yang diaktifkan kembali untuk memimpin penyerangan ke Aceh (Ia menetap di Belanda dan karena tugas itu, pada 16 Juli 1873, Van Swieten berangkat dari Den Haaq dan tiba di Betawi pada 24 Agustus 1873).

Van Swieten dibantu Mayor Jenderal G.M. Verspijk. Pada November 1873 itu, penyakit kolera telah mewabah di Batavia dan menulari anggota pasukan ekspedisi kedua sehari setelah berangkat dari Batavia. Anggota-anggota ekspedisi itu sudah meninggal dunia sekitar 80 orang sebelum mendarat di Aceh.

Pada 9 Desember 1873, Belanda mendarat di Kampung Leu’u (Lhok-U?), dekat Kuala Gigieng (kini Kabupaten Aceh Besar). Pada 6 Januari 1874, Masjid Raya Baiturrahman yang dipertahankan oleh Tuanku Hasyim Banta Muda, berhasil direbut pihak Belanda. Wabah kolera terus berjangkit di antara pasukan Belanda dan menulari pula pihak Aceh.

Menurut laporan mata-mata pihak Belanda, terdapat 3.000 orang Aceh berasal dari Mukim XXII untuk mempertahankan garis perang yang dibuat Panglima Polem dengan kedudukan di Lampoh Jok. Dalam dijaga oleh sekitar 900 pasukan bersenjata.

Pada 4 Januari 1874, sekitar 500 orang datang dari Sagi XXII Mukim untuk mempertahankan Dalam. Uleebalang Pidie, bersama sekitar 1.000 rakyatnya datang ke Bandar Aceh. Pada 10 Februari 1874, Ia bersama rombongannya terpaksa kembali ke Pidie karena memperoleh kabar bahwa pasukan Belanda telah menyerang daerah Uleebalang Pidie.

Pertengahan Januari 1874, tiba di Banda Aceh lebih 1.000 rakyat Peusangan (kini Kabupaten Bireuen) dan membuat pertahanan di Kuala Cangkoi (kini Kecamatan Meraksa). Pada 15 Januari 1874, Sultan Alaiddin Mahmud Syah dan Teuku Baet menyingkir dari Dalam menuju ke Lueng Bata ketika pasukan Belanda terus-menerus menembaki Dalam.

Di Lueng Bata, terdapat pertahanan dengan kekuatan 1.000 orang. Dua orang kerabat Sultan dan dibantu oleh sekitar 500 orang rakyat negeri Meureudu, mempertahankan diri di Keutapang Dua. Teuku Imuem Muda, Uleebalang Teunom (kini bagian Kabupaten Aceh Jaya) mengerahkan sekitar 800 rakyatnya disertai sejumlah obat bedil (mesiu) ke Banda Aceh.

Akhirnya setelah perang sengit Belanda dapat merebut Dalam pada 24 Januari 1874. Pihak Aceh berpendapat kejatuhan Dalam karena pengkhianatan di antara orang Aceh dan timbul wabah kolera. Setelah kejatuhan Dalam, Belanda menghentikan serangannya dengan harapan terdapat persetujuan dari Sultan Aceh untuk takluk kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Pada 28 Januari 1874, Sultan Alaiddin Mahmud Syah mangkat karena wabah kolera di Lueng Bata, dan dimakamkan di Pagar Aye. Beberapa hari kemudian pihak Aceh memindahkan jasad Sultan dari Pagar Aye dan dimakamkan di Cot Bada, Samahani. Pihak Aceh melakukan tindakan itu karena khawatir bahwa pihak Belanda akan membongkar makam Sultan.( the and )

Next ....