Senin, 15 Agustus 2011

Ilmu Waris

Ilmu waris merupakan salah satu ilmu yg HARUS dipelajari/dikuasai di Islam, minimal ada seseorang yg mengetahui secara detail dan mampu menjelaskan (+memberikan solusi) apabila terjadi permasalahan soal waris. Hal ini dikarenakan waris berkaitan dengan harta, dan sudah menjadi sifat manusia, tamak terhadap harta. Bahkan karena harta, hubungan darah (persaudaraan) bisa berantakan.

Istilah lain dari ilmu waris adalah faraidh, sebagaimana yg aku tulis di atas (aku tuliskan lagi sebagai penekanan), ini merupakan kewajiban dari ALLOH SWT yg harus dilaksanakan seperti halnya mengerjakan sholat, puasa, zakat, haji. Hal ini dikarenakan ilmu waris sudah ada KETENTUAN yg telah dijabarkan oleh Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah SAW. Pembagian harta pusaka (warisan) di dalam Al Qur’an dikenal dg istilah HUDUD ALLAH (batas atau ketentuan yg ditetapkan ALLOH (An Nisa(4):13-14).

Tentang PENTINGNYA ILMU WARIS ini, Rasulullah SAW sendiri bersabda“Pelajarilah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah ilmu faraidh (waris) dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya saya ini adalah orang yg akan direnggut (diwafatkan ALLOH), sedangkan ilmu faraidh akan diangkat (dihilangkan) ALLOH. Hampir saja 2 orang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorangpun yg sanggup menfatwakannya kepada mereka.” (HR Ahmad, Nasai, dan ad Daruquthny).

Setelah membaca referensi2, aku definisikan Kewarisan (Faraidh) sebagai berikut:
Pengetahuan (ilmu) fiqh yg berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yg dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yg wajib dari harta pusaka untuk setiap pemilik hak pusaka.

Dari definisi di atas, maka obyek pengetahuan waris terdiri dari:
1. Penentuan siapa yg berhak menjadi ahli waris
2. Penentuan mengenai harta peninggalan
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Biasanya yg menjadi masalah adalah point 3. Untuk itu, jika tidak ada kesepakatan dari para ahli waris, maka sengketa harus diselesaikan oleh hakim PENGADILAN AGAMA.

DASAR HUKUM
Dasar hukum kewarisan yg dijadika dasar dalam penetapan kewarisan adalah:
1. Al Qur’an. Al Baqarah(2):180&240, An Nisa(4):7,11,12,33&176, Al Ahzab(33):6.
2. Hadits Rasulullah SAW. “Berikanlah harta pusaka (faraidh) itu kepada orang-orang yg berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yg lebih utama.” (HR Bukhari dan Muslim)
3. Ijma’ ulama. Untuk di Indonesia, bisa merefer (merujuk) ke Kompilasi hukum Islam.

TERJADINYA KEWARISAN
Kewarisan terjadi apabila memenuhi rukun sebagai berikut:
1. Maurist (harta atau hak yg diwarisi), yg lebih dikenal dg istilah tirkah (harta peninggalan). Yaitu harta yg ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yg menjadi miliknya maupun hak-haknya;
2. Muwarrits (pewaris). Yaitu orang yg meninggal dunia;
3. Warist (ahli waris). Yaitu orang yg akan mewarisi harta peninggalan.

Kompilasi hukum Islam mendefinisikan ahli waris = orang yg ada pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama ISLAM, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dengan demikian, jika ada orang tua (Islam) yg mempunyai anak non Islam, maka anak tsb TIDAK BERHAK mendapat warisan, sengotot apapun dia ;-) Dari beberapa referensi, ANAK YG LAHIR DI LUAR NIKAH juga TIDAK BERHAK mendapat waris, karena statusnya yg tidak jelas (oleh karena itu, hati2, jangan sampai hamil di luar nikah…!!!).

SALAH PAHAM PEMBAGIAN HARTA WARIS
Di bagian ini seringkali terjadi salah kaprah, terutama di Indonesia. Seseorang yg sudah uzur&merasa ajalnya sudah dekat (atau bahkan masih muda&sehat) seringkali membagi-bagikan hartanya sebelum dia meninggal. Dia beranggapan dg dibaginya harta yg dia miliki pada saat dia masih hidup, maka perselisihan antar anggota keluarganya bisa diredam. HAL INI JELAS2 SALAH DAN TIDAK BERDASAR..!!! Rasululloh SAW bersabda“Barang siapa yg meninggalkan hak atas suatu harta, maka hak atau harta itu adalah untuk ahli warisnya setelah KEMATIANNYA.” Al Qur’an, surat Al Baqarah(2):180 juga menyatakan hal yg serupa.

Intinya, PEMBAGIAN HARTA WARIS DILAKUKAN SETELAH KEMATIAN…!!!

HAL-HAL YG HARUS DILAKUKAN SAAT PEMBAGIAN HARTA WARIS
Sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris, ada hal-hal yg harus diperhatikan. Hal-hal tersebut:
1. Biaya perawatan (tahjiz). Harta waris harus dikurangi dahulu biaya perawatan (jika muwarrits dirawat sebelum meninggal dunia). Oleh karena itu, perawatan orang sakit hendaklah PROPORSIONAL, TIDAK BOROS, namun TIDAK KIKIR (lihat Al Furqan(25):67 sebagai rujukan).
2. Utang (dain). Utang dibedakan atas utang kepada ALLAH (zakat&nadzar) dan utang kepada manusia. Utang ini mesti dilunasi dulu dg harta waris sebelum dibagikan. Karena itu, seringkali kita mendengar pihak keluarga menanyakan kepada orang2 yg hadir di prosesi jenazah, apakah muwarrits mempunyai hutang dan jika punya maka hendaknya menghubungi pihak keluarga untuk diselesaikan.
3. Wasiat, yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain/lembaga, yg berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat diberikan secara sukarela yg pelaksanaannya ditangguhkan sampai adanya peristiwa kematian. (jika pemberian dilakukan saat pewaris masih hidup = HIBAH). Islam, sebagai agama yg ‘masuk akal’ MELARANG wasiat yg berlebihan. Wasiat dibatasi jumlahnya, TIDAK LEBIH DARI 1/3 harta warisan.

Selasa, 02 Agustus 2011

Tatacara Shalat Jenazah

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw mengucapkan takbir didalam shalat jenazah dan mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama dan meletakan tangan kanan diatas tangan kirinya.” Lalu Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini gharib dan kita tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini.)

Para ahli ilmu telah berbeda pendapat didalam permasalahan ini :

1. Kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi saw dan yang lainnya berpendapat untuk mengangkat kedua tangan pada setiap takbir didalam shalat jenazah, demikian pula pedapat Ibnul Mubarok, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.

2. Sedangkan sebagian ahli ilmu yang lain berpendapat untuk tidak mengangkat kedua tangan kecuali hanya pada takbir pertama, ini adalah pendapat ats Tsauriy dan ahli Kuffah. (Sunan at Tirmidzi juz IV hal 350)

Syeikh al Albani didalam “Ahkam al Janaiz hal 115 – 116” menyebutkan bahwa dalam hal disyariatkannya mengangkat kedua tangan pada takbir pertama terdapat dua buah hadits :

Dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw mengucapkan takbir dalam shalat jenazah dan mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama dan meletakan tangan kanan diatas tangan kirinya.” Diriwayatkan oleh at Tirmidzi (2/165), ad Daruquthni (192), al Baihaqi (284), Abu asy Syeikh didalam “Thabaqat al Ashbaniyin” (262) dengan sanad lemah akan tetapi diperkuat oleh hadits kedua : dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya didalam shalat jenazah pada takbir pertama dan tidak mengulanginya lagi.” Diriwayatkan oleh ad Daruquthni dengan sanad yang orang-orangnya bisa dipercaya kecuali al Fadhl bin as Sakan, dia adalah orang yang tidak dikenal. Ibnu at Turkumai tidak memberikan pendapat tentangnya didalam “al Jauhar an Naqiy” (4/44).

Dengan demikian permasalahan mengangkat kedua tangan saat takbir didalam shalat jenazah adalah permasalahan khilafiyah atau yang masih diperselisihkan oleh para ulama sehingga tidak perlu menjadikan sebagian dari kita menyalahkan sebagian yang lain.

Doa Setelah Shalat Jenazah

Dibolehkan bagi seseorang untuk memohonkan ampunan bagi si mayit dan memohon agar diberikan kesabaran kepada keluarga yang ditinggalkannya setelah si mayit dikuburkan berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Mohonkanlah ampunan buat saudaramu dan mintalah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan, pen) karena saat ini dia sedang ditanya.” (HR. Abu Daud)

Ada sebagian ulama seperti Imam Nawawi didalam kitab “al Majmu”, Syarbini didalam kitab “Mughni al Muhtaj”, al Ghamrawiy didalam kitab “as Siraj al Wahhaj” membolehkan memanjatkan doa bagi si mayit atau keluarga yang ditinggalkannya setelah selesai shalat jenazah dan sebelum dikuburkan apabila doa itu dilakukan dengan sendiri-sendiri. Akan tetapi tidak ada riwayat dari Nabi saw dan para salafussaleh yang menerangkan bahwa doa tersebut dilakukan secara berjama’ah.

Doa Untuk Jenazah

Para ulama bersepakat disunnahkannya berdoa bagi si mayit setelah takbir ketiga didalam shalat jenazah, dan diantara doa-doa tersebut—sebagaimana terdapat didalam kitab “al Adzkar” Imam Nawawi , diantaranya :

1. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah berdoa :

" اللَّهم اغفِر لَهُ ، وَارحَـمهُ ، وعافِهِ ، وَاعفُ عَنهُ ، وَأَكرِم نُزُلَهُ ، وَوَسِّع مَدخَلَهُ ، وَاغسِلهُ بالمَاءِ وَالثَلجِ وَالبَرَدِ ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايا كَما نَقَّيتَ الثَّوبَ الأَبيَضَ مِنَ الدَّنَسِ ، وَأَبدِلهُ دَارًا خَيرًا مِن دَارِهِ ، وَأَهلًا خَيرًا مِن أَهلِهِ ، وَزَوجًا خَيرًا مِن زَوجِهِ ، وَأَدخِلهُ الجَنَّةَ ، وَأَعِذهُ مِن عَذَابِ القَبرِ أَو مِن عَذَابِ النَّار "

2. Diriwayatkan oleh Abu Daud, at Tirmidzi dan al Baihaqi bahwa Rasulullah berdoa dengan mengatakan :

" اللَّهُمَّ اغفِر لحَِـيِّناَ وَمَيِّتِنَا ، وَصَغِيرِناَ وَكَبِيرِنَا ، وَذَكَرِنَا وَأُنثَانَا ، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا ، اللَّهُمَّ مَن أَحيَيتَهُ مِنَّا فَأَحيِهِ عَلَى الإسلَام ، وَمَن تَوَفَّيتَهُ مِنَّا فَتَوَفِّهِ عَلَى الإِيمَان ، اللَّهُم لَا تَحرِمنَا أَجرَهُ وَلَا تَفتِنَّا بَعدَهُ ".

Sedangkan setelah takbir keempat maka tidaklah ada kewajiban untuk berdoa menurut kesepakatan para ulama namun dianjurkan untuk berdoa—sebagaima disebutkan oleh Imam Syafi’i didalam kitab “al Buwaithi”—dengan lafazh :

اللَّهُمَّ لَا تَحرِمنَا أَجرَهُ وَلَا تَفتِنَّا بَعدَهُ.

Atau dengan doa :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنيَا حَسَنَةً ، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً ، وَقِنَا عَذَابَ النَّار

Wallahu A’lam